Senin, 08 Desember 2008

Menengok Stasiun Kutoarjo

Mendengar nama Stasiun Kutoarjo yang terletak tak jauh dari Kabupaten Purworejo Jateng bagian selatan, pasti ingatanku adalah stasiun KA ini pada tahun 1960-an, 70-an, dan 80-an menjadi tempat mangkal lokomotif uap. Padahal saat itu aku belum pernah menginjakkan kaki di stasiun itu. Baru menginjakkan kaki di stasiun itu justru hari Kamis (4/12-08). Lantas dari mana aku bisa tahu kalau di Stasiun Kutoarjo itu dulu menjadi tempat mangkal lokomotif uap? Ceritanya saat aku masih kecil-kanak-kanak dan SD, aku pernah diajak keluargaku menengok kakek-nenek sekaligus saudara di Prembun (dekat Kebumen). Setiap kali pulang dari Prembun menuju Semarang atau Yogya, selalu melewati Stasiun Kutoarjo yang relnya ada di tepi jalan raya Yogya-Kebumen-Kroya. Dari jalan raya aku kerap melihat ada deretan lok uap D52 dan C28 lagi stabling di depo, depan stasiun (langsir), atau mau menarik rangkaian KA penumpang yang catnya masih kuning ijo waktu itu. Asap hitam yang membumbung tinggi dari cerobong asap lok uap D52 atau C28 juga kerap terlihat jelas dari jalan raya. Mirip asap dari cerobong asap pabrik gula.
Rasa penasaranku terhadap Stasiun Kutoarjo muncul ketika aku memutuskan rehat dari kegiatan liputan termasuk bikin tulisan selama tiga hari. Aku memutuskan menyepi di rumah kakakku di kota Yogya sejak Rabu (3/12-08) hingga Jumat (5/12-08). Dari kota Semarang aku naik KRD Pandanwangi yang ditarik lokomotif diesel elektrik legendaris produksi General Motor USA, BB20021. Sayang, perjalanan ke Solo Balapan sebelum oper ke KRDE Prameks sempat tersendat lantaran track di Stasiun Semarang Tawang ada masalah dengan wesel elektriknya, belum silangan dengan beberapa KA di stasiun antara Brumbung-Salem, termasuk perbaikan rel di beberapa tempat yang bikin KA harus berjalan dalam posisi semboyan 2b (15 km/jam) dan 2c (5 km/jam). Akibatnya aku ketinggalan KRDE Prameks yang pukul 12.30 WIB ke Yogya di Solo Balapan karena KRD Pandanwangi baru masuk Solo Balapan pukul 12.45 WIB. Baru ada KRDE Prameks lagi pukul 14.45 WIB yang berangkat menuju Tugu-Yogyakarta. Sesampainya di kota Yogya, keesokan harinya aku harus naik KRDE Prameks jurusan Kutoarjo yang berangkat pukul 06.45 WIB dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Selama satu jam perjalanan, akhirnya aku tiba di Stasiun Kutoarjo yang bangunannya sudah sangat berubah, mirip Stasiun Gambir Jakarta. Kesan kuno-klasik-jadul sudah sulit aku temukan di stasiun ini. Justru yang asli tinggal kusen pintunya. Sedangkan bangunan depo lok, kantor depo, dan mess untuk masinis masih terlihat klasik dan kuno banget, sehingga amat sangat sedap dipandang mata bagiku yang mengagumi sesuatu yang kuno-klasik. Aku lalu pergi menengok saudaraku di Prembun tepatnya di Pandorekan. Setelah sejam bertandang ke rumah saudaraku (saudara sepupu), aku lalu balik lagi ke Stasiun Kutoarjo. Ngapain kalau bukan motret dan nonton KA yang singgah dan melintas di stasiun itu. Padahal jarum jam masih pukul 10.00 WIB, sedangkan KRDE Prameks dari Stasiun Tugu baru masuk pukul 14.45 WIB. Aku manfaatkan untuk memotret lok di depo seperti lok BB30006 yang sudah dicat kuning ijo, lok BB30016, termasuk KA yang singgah-melintas yaitu KA Argo Lawu, Lodaya, Taksaka, Pasundan, Argo Wilis (2 arah), Fajar Utama Yogya, termasuk KLB yang menarik KRDE (railbus) untuk Sumatera Selatan dari PT Inka Madiun yang ditarik lok CC20145 milik depo lok Yk. Sayang, aku nggak sempat memotret KA ketel Pertamina dari Rewulu - Cilacap atau KA barang (kurs angkutan semen). Soalnya setelah KLB + lok CC20145 singgah di spoor 2 stasiun itu, KRDE Prameks masuk di spoor 4 dan langsung balik lagi ke Tugu Yogya dan selanjutnya menuju Solo Balapan.
Ketika aku motret-motret di Stasiun Kutoarjo itu, salah seorang petugas stasiun bertanya padaku mau kemana dan naik kereta apa. Aku bilang kalau mau naik Prameks. Petugas itu heran mendengar jawabanku karena aku terlalu pagi menunggu di stasiun. Lalu aku jawab kalau waktunya digunakan memotret KA. "Buat koleksi pak, soalnya baru hari ini datang di stasiun ini, aslinya dari Semarang," kata aku menerangkan sejelas mungkin untuk mengurangi rasa curiga petugas padaku. Pasalnya petugas itu dari tadi mengamatiku setiap kali ada KA lewat selalu membidikan kamera digital. Aku lalu bercerita cas cis cus soal KA yang bikin petugas itu heran. Tujuannya sekali lagi biar dia nggak curiga dan berpikiran negatif tentang kehadiranku di Stasiun Kutoarjo. "Wah, ternyata anda lebih tahu dari saya ya?" kata petugas itu.
Jayalah KA Indonesia...semboyan 40/41
Nugroho Wahyu Utomo



Problema KRD Pandanwangi

Ada-ada saja yang dialami KRD Pandanwangi dalam melaksanakan tugas perjalanannya mengantar penumpangnya Semarang - Solo pp. Sejak KRD ini diluncurkan tahun 2002 dan melakukan trip hingga Stasiun Tugu Yogya sampai dengan tahun 2004 hanya sampai Solo Balapan, KRD ini memiliki beraneka ragam masalah. Pertama faktor penumpang yang minim karena pihak Daop IV dan Daop VI PT KA kurang promosi, Kedua faktor mesin KRD yang semakin aus hingga akhirnya harus ditarik lokomotif. Ketiga adalah faktor ketepatan dan kecepatan waktu tempuh karena kondisi track Semarang - Solo itu sendiri. Itu belum penyebab lainnya misalnya prasarana yang rusak karena faktor alat itu sendiri, alam, atau oknum tak bertanggung jawab. Seperti halnya di Semarang yang kerap diserang banjir. Mau banjir rob atau banjir akibat hujan, tetap merepotkan. Ketika aku mengadakan perjalanan ke Yogya lewat Solo dengan naik KRD Pandanwangi hari Rabu (3/12), ada-ada saja halangannya. KRD Pandanwangi yang ditarik lok BB20021 ternyata penumpangnya nggak begitu banyak. Udah gitu ada bangku yang rusak tak terawat. KRD Pandanwangi yang mesinnya sudah nggak berfungsi sehingga harus ditarik lok BB20021 yang sudah tua (51 tahun), akhirnya tinggal spoor (istilah untuk KA, kalau pesawat terbang istilahnya tinggal landas) dari spoor 2 Stasiun Semarang Poncol pukul 08.45 WIB. Ketika masuk ke Stasiun Semarang Tawang, ternyata di spoor 3 ada KA 1003 yang menarik rangkaian kurs angkutan semen hendak menuju Stasiun Semarang Poncol. Ternyata KRD Pandanwangi yang nongkrong di spoor 1 Stasiun Semarang Tawang memang cukup lama berhenti. Ada sekitar 30 menit lebih. Usut punya usut ada wesel elektrik di wesel pertama dari arah timur stasiun yang mengalami kerusakan akibat arus pendek setelah terkena banjir rob di sekitar wesel. Akibatya wesel yang semula habis dilalui KA 1003, tidak bisa dikembalikan normal lagi. Petugas pun diturunkan ke lapangan untuk memperbaiki dan akhirnya pukul 09.30 WIB KRD Pandanwangi yang ditarik lok BB20021 diberangkatkan menuju Solo Balapan. Bisa ditebak, KRD Pandanwangi ngebut dari Stasiun Semarang Tawang - Alas Tuwa-Brumbung, kecuali melalui perbaikan rel di bawah jembatan fly over dekat perlintasan Jalan Kaligawe. Karena beberapa halangan itulah membuat KRD Pandanwangi baru masuk ke Solo Balapan pukul 12.45 WIB, padahal aslinya harus masuk Solo Balapan pukul 12.00 WIB dan diberangkatkan lagi pukul 13.00 WIB ke Semarang Poncol. Melihat kondisi KRD Pandanwangi yang semakin mengenaskan karena mesinya tidak berfungsi, penjual makanan bebas berkeliaran di dalam kereta, kursi yang rusak, lantai dan kaca yang kotor, apakah Daop IV PT KA bisa lebih peduli dengan salah satu armadanya ini? Aku pernah mengusulkan kalau jalur Semarang-Solo sebaiknya dioperasionalkan KA penumpang biasa, bukan KRD, mengingat medannya yang berbelok-belok dan menyebabkan KRD cepat mengalami kerusakan mesin karena gardan rodanya menghantam pipa oli untuk transmisi mesin diesel hidroliknya. Keleluasaan bogi roda KRD dengan kereta penumpang biasa jelas berbeda karena lebih leluasa kereta penumpang. Itulah sebabnya lebih klop memakai kereta penumpang daripada KRD seperti yang dilakukan pada saat jaya-jayanya KA Pandanaran dan saat itu mengandalkan lokomotif BB200 yang melenggang hingga Solo dan Yogya.
Jayalah KA Indonesia...Semboyan 40/41
Nugroho Wahyu Utomo



Rabu, 26 November 2008

Menyelamatkan Tawang - Poncol Dari Banjir

Ketika tengah melakukan kegiatan liputan di Hotel Horison Semarang, Sabtu (22/11) siang, tiba-tiba salah seorang rekan wartawan Kompas angkat kaki dari ruang tempat liputan di lantai 2. "Mas, kabarnya Stasiun Tawang banjir...," kata teman wartawan dari Kompas itu seraya ngeloyor. "Ok deh, entar nanti aku kesana...," kataku. Tak lama setelah liputan rampung, aku bergegas menuju Stasiun Poncol. Stasiun Poncol? Ya, soalnya aku memang mau meneliti seberapa parah banjir yang menggenangi Stasiun Tawang dilihat dari jumlah lokomotif diesel elektrick yang tertahan di Stasiun Poncol. Kalau di Stasiun Poncol KA dari arah barat yang ditarik lok diesel elektrick tidak ada yang tertahan, berarti banjir di stasiun Tawang memang tidak terlalu parah atau tidak terlalu bahaya dilalui lokomotif diesel elektrick macam BB200, CC201, atau CC203. Pasalnya bila transmisi elektrick yang terdapat dalam motor traksi dekat roda penggerak itu terkena genangan air banjir akibatnya bisa terjadi arus pendek dan menyebabkan lokomotif itu mogok. Lain halnya dengan lokomotif diesel hidrolik produksi Fried Krupp Jerman macam Lok D301, BB300, BB301, atau BB304, termasuk yang produksi Heinscel Jerman yaitu BB303, karena menggunakan transmisi hidrolik, maka lok jenis itu bebas melenggang di genangan banjir. Itulah sebabnya lok diesel hidrolik yang stabling di Depo Lok Semarang Poncol macam Lok D30117 dari Sub Depo Lok Cepu, Lok D30103 dari Sub Depo Lok Tegal, Lok BB30012 dan BB30024 dari Sub Depo Lok Cepu, atau Lok BB30125 yang jauh-jauh dari kota brem (Depo Lok Madiun), kerap dijuluki "Yuyu Kangkang". Mengingatkan pada kisah Ande-Ande Lumut yang menampilkan binatang air sungai "yuyu Kangkang" mengantarkan puteri yang akan melamar Ande-Ande Lumut menyeberang sungai.
Ketika aku sampai di kawasan Depo - Stasiun Poncol, ternyata lokomotif diesel elektrick bebas berlalu lalang Poncol-Tawang. Apakah banjir di Tawang sudah surut? Belum. Ternyata wilayah yang tergenang banjir adalah peron dan tempat penjualan tiket, termasuk kantor PPKA, ruang tunggu eksekutif, ruang masinis...pokoknya rel di seluruh spoor Stasiun Tawang yang telah ditinggikan 35 cm dari ketinggian sebelumnya, sudah aman dari banjir. Sehingga lok diesel elektrik bisa keluar masuk stasiun Tawang tanpa harus digantikan perannya lok diesel hidrolik. Sebelumnya KA yang datang dari arah barat misalnya Argo Bromo Anggrek bila Stasiun Tawang banjir, harus tertahan di Stasiun Poncol dan perannya digantikan lok diesel hidrolik memasuki Stasiun Tawang sampai keluar dari Stasiun Tawang menuju Stasiun Alas Tuwa. Di Alas Tuwa, lok diesel hidrolik yang telah berjasa melangsir KA Argo Bromo Anggrek digantikan perannya oleh lok diesel elektrick yang singgah dan siap menarik Argo Bromo Anggrek dari Alas Tuwa sampai finish di Stasiun Surabaya Pasar Turi. Makanya pihak Daop IV PT KA nggak mau dibikin repot dengan adanya gonta-ganti lok hanya karena masalah banjir di Tawang. Solusinya adalah rel harus ditinggikan lagi setinggi 35 cm dari tinggi sebelumnya. Padahal menurutku itu hanya sementara, dan bukan solusi yang tepat. Pasalnya kondisi permukaan tanah di kota Semarang khususnya di bagian bawah seperti kawasan Tawang merupakan kawasan yang rawan penurunan. Penyebabnya, maraknya penduduk membangun sumur air tanah dan pembangunan gedung bertingkat dengan pondasi tiang pancang, justru akan mengurangi kadar air tanah dan akibatnya pori-pori tanah kosong hingga menyebabkan permukaan tanah turun secara perlahan. Tak heran bila akhirnya bencana banjir rob juga turut menerjang kawasan itu. Penelitianku akhirnya memutuskan semacam solusi yang dirasakan sangat mahal biayanya namun manfaatnya cukup besar, Stasiun Tawang dan Stasiun Poncol termasuk Depo Lok, Depo Kereta, Depo Mekanik posisinya ditinggikan relnya dengan sistem rel layang, persis yang dilakukan di Stasiun Gambir dan Stasiun Jakarta Kota (Beos). Dengan dibangunnya rel layang termasuk spoor yang ada di Poncol dan Tawang, maka akan terbebas dari banjir. Itu pertama, yang kedua rel utama termasuk spoor di stasiun akan bersih dari para pejalan kaki dan pedagang asongan. Bahkan tidak ada lagi orang memasuki stasiun lewat pintu perlintasan KA, jadi orang yang masuk stasiun harus membayar retribusi berupa beli tiket peron. Lantas bagaimana dengan pos-pos perlintasan KA? Justru dengan masih minimnya kesadaran pemakai jalan raya yang kerap menerabas pintu perlintasan saat KA akan lewat, maka pembangunan rel layang justru menjadikan zero accident antara KA dengan pengguna jalan. Para petugasnya kemudian dialihkan menjaga perlintasan liar, guna menghindari tabrakan KA dengan pengguna jalan. Solusi ini pernah aku tulis dalam rubrik Wacana Lokal Harian Suara Merdeka edisi tanggal 15 September 2008. Namun nampaknya pihak Daop IV PT KA masih memikirkan solusi yang aku tulis tadi atau memang belum mendapatkan dana cukup besar guna mewujudkan solusiku tadi.
Jayalah KA Indonesia...Semboyan 40/41
Nugroho Wahyu Utomo


Peninggian Rel Perlintasan Jalan Kaligawe

Hari Kamis (13/11) saat mau bertandang ke kantor redaksi Harian Suara Merdeka Jalan Kaligawe Semarang, aku dikejutkan oleh kemacetan lalu lintas dari Jembatan Kali Banjir Kanal Timur hingga pintu perlintasan KA. Semula aku kira habis ada KA melintas waktu itu pukul 13.00 WIB, jadi dugaanku yang melintas adalah KA Argo Bromo Anggrek dari Surabaya Pasar Turi (SBI) ke Jakarta Gambir. Tetapi saat akan mendekat pos perlintasan KA, kok ada orang berkerumun. Apakah ada kecelakaan pengendara motor tertabrak KA? Ternyata setelah melintas, aku melihat orang berkerumun di perlintasan KA adalah para pekerja unit jalan dan jembatan KA yang tengah membongkar dan meninggikan posisi rel menjadi 35 cm dari ketinggian sebelumnya. Wah, bisa buat penelitian PeKAMatra (Peduli KA Masinis Putra) nih, nanti dari Suara Merdeka aku mau kesana. Usai dari kantor Suara Merdeka, aku langsung menyambangi perlintasan yang tengah ditinggikan itu. Semula proyek peninggian rel KA di perlintasan Jalan Kaligawe akan dilakukan akhir September 2008 lalu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun diurungkan karena dikhawatirkan akan mengakibatkan kemacetan lalin arus mudik dan balik. Ketika aku sampai di pos perlintasan, seorang penjaga pos perlintasan bernama Pak Mul langsung berseru...wah wartawanne teko (wah wartawannya datang). Aku langsung meminta izin kepada pengawas proyek sekaligus ngobrol dengan mereka. Beberapa proses pengerukan balas tengah dilakukan pekerja. Namun aku nggak sempat menyaksikan proses pengangkatan relnya. Pasalnya ketika aku sampai di pos perlintasan, posisi rel yang melintang di jalan raya sudah dibenamkan sebagian kecuali kepala rel dan ditutup sementara dengan karung berisi pasir. "Peninggian hari ini (Kamis, 13/11) sudah mencapai 18 cm, artinya masih kurang 17 cm lagi," kata petugas pengawas. Petugas sendiri belum bisa memastikan kapan rel itu akan ditinggikan lagi, karena tergantung pada padat tidaknya jadwal KA melintas. Umumnya dilakukan siang hari antara pukul 09.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB, karena KA yang melintas saat itu relatif sepi. Mengenai bantalan kayu yang dipakai, bukan bantalan beton pada lintasan yang menyeberang, petugas yang enggan disebut namanya itu menjelaskan karena konstruksi bantalan kayu justru lebih kuat saat dilintasi KA selain faktor lendutan yang cukup bagus. Kuat disini adalah kuat terhadap getaran saat KA melintas apalagi bantalan tersebut ditindih dengan lapisan plat besi atau aspal untuk menahan besi rel saat melintang di jalan raya. Bantalan kayu yang terakhir di pasang bulan Desember 2002 lalu, kini kondisi ketebalannya sudah di bawah dari ukuran standard yaitu dibawah 18 cm. Sedangkan bantalan beton ketebalan ukuran standard adalah 22 cm. Penggantian bantalan ini untuk menunjang besarnya kecepatan KA yang melintas, misalnya KA Argo Bromo Anggrek yang biasanya melintas dengan kecepatan 100 - 120 km/jam. Ausnya bantalan kayu yang terbenam di bawah jalan raya, disebabkan oleh faktor usia bantalan kayu, dan rembesan air rob yang semakin parah mengancam wilayah Semarang bagian bawah. Sayangnya, untuk penambatnya masih menggunakan penambat tipe pandrol. Walaupun penambat tersebut dibenamkan di bawah badan jalan raya beraspal sehingga bebas dari kasus pencurian, namun apakah tidak sebaiknya menggunakan penambat tipe Clip yang jauh lebih aman. Bahkan ruas rel di sekitar perlintasan Jalan Kaligawe seperti di kawasan kampung Karang Kimpul dan Tambak Lorok, masih menggunakan tipe pandrol yang rawan pencurian. Sedangkan kawasan tersebut bagi masyarakat Semarang dikenal sebagai kawasan rawan kriminalitas. Mengenai bantalan kayu bekas yang baru saja dilepas dari rel, apakah nantinya juga akan diangkut ke Museum KA Ambarawa guna peningkatan jalur KA Ambarawa - Tuntang? Petugas tersebut belum berani menjawab dan semua diserahkan ke pihak Daop IV PT KA (Persero). Tak lama kemudian sirine pintu perlintasan berbunyi dan menutup sementara arus lalin Jalan Kaligawe. Ternyata yang akan melintas adalah KA 2 alias KA Argo Bromo Anggrek dari arah Stasiun Semarang Tawang (SMT) menuju Surabaya Pasar Turi (SBI). Seorang petugas membawa bendera hijau sambil melambai-lambaikan tanda semboyan 2c agar KA berjalan dengan kecepatan maks 5 km/jam. Saat akan melintas di rel yang tengah digerus balasnya, semula KA tersebut agak takut melintas, karena khawatir anjlok. Namun dengan kecepatan yang sangat minim, KA melintas di atas rel yang hanya mengandalkan kekuatan bantalan kayu baru sebagai penahan, jadi tanpa balas sama sekali. Lintasan KA berhasil sukses tanpa ada peristiwa anjlokan dan pintu perlintasan kembali dibuka. Tak kurang dari sepuluh menit, pintu perlintasan kembali ditutup. Usut punya usut yang akan melintas KRD Pandanwangi yang ditarik lok BB20021 dari arah Stasiun Alas Tuwa (ATA). "Pandanwangi sempat silangan dengan Argo Anggrek di Alas Tuwa," kata Pak Mul sembari menutup pintu perlintasan. Tampak petugas berlari-lari ke arah KA yang akan melintas sambil melambai-lambaikan bendera merah. Petugas tersebut langsung naik ke bodi lok bagian depan sambil memberi aba-aba ke masinis agar mengurangi kecepatannya karena akan melintas di rel yang belum diberi balas dan hanya mengandalkan bantalan kayu baru. KRD Pandanwangi melintas sukses tanpa celaka dan pintu perlintasan kembali dibuka. Aku langsung pamit pulang meninggalkan kesibukan pekerja di perlintasan KA Jalan Kaligawe.
Jayalah KA Indonesia...Semboyan 40/41
Nugroho Wahyu Utomo





Minggu, 26 Oktober 2008

Celoteh di KA Wisata

Naik kereta api wisata memang berbeda dengan naik kereta api dewasa ini seperti KA Argo Bromo Anggrek, Bima, dll. Perbedaan pertama adalah KA Wisata yang beroperasi di line Ambarawa - Bedono pp ditarik lokomotif uap B2502/B2503 dan keretanya menggunakan kereta kayu, sudah gitu relnya bergerigi. Kalau soal bergerigi mungkin hanya bisa disamai oleh KA wisata yang ada di Sumbar wilayahnya Divre II. Perbedaan kedua inilah yang menjadi perbincangan bahkan celotehan para railfan (pecinta KA) saat naik KA Wisata yaitu nggak ada pedagang asongan / makanan yang lalu lalang menawarkan makanan atau barang-barang kepada penumpang. Mungkin kondisi itu terjadi ketika jalur Ambarawa-Bedono-Magelang-Muntilan-Sleman-Yogya masih aktif. Entah karena apa mungkin karena adanya penertiban aturan main dari pihak museum yang melarang pedagang masuk ke KA berharga sewa Rp 3,5 juta. Nah, karena nggak ada penjual makanan/ minuman/ asongan, wajar bila para railfan kerap berteriak dengan celoteh:....ya nasi...nasi...nasi...nasi bungkus/ yang haus...yang haus...yang haus...ya Aqua...Aqua...Aqua/ ...nasi pecelnya mas...nasi pecel Gambringan mas... Begitulah celotehan yang tentu saja membuat tertawa seisi kereta wisata tak ketinggalan kru KA Wisata. Bahkan ketika KA berhenti di Stasiun Jambu, ada yang berteriak...awas perhatikan jalur dua segera melintas KA Argo Muria...(menirukan petugas PPKA stasiun). Ketika beberapa railfan naik di kabin lok uap, salah seorang temannya berteriak dengan kalimat yang menakut-nakuti...hei turun ...awas ada PS (Pemeriksaan Setempat!! Padahal di KA Wisata selama perjalanan nggak ada PS. Bahkan PS yang marah-marah bila ada penumpang naik di kabin lok uap pun nggak ada. Lagi-lagi semua pada ketawa cekikikan termasuk kru KA Wisata. Coba kalau naik di kabin lok diesel, tentu kalau ketahuan PS, penumpang itu akan di"nyanyiin" lagu nya Matta ...wo o ...kamu ketahuan...naik di kabin...dengan diam-diam (maksudnya dimarahi PS dengan kalimat meminta mereka segera turun). Ya inilah yang membedakan atmosfir KA Wisata dengan KA lainnya. Suasananya jauh lebih akrab, sembari menikmati pemandangan alam berupa hamparan sawah dan bukit serta Gunung Telomoyo yang megah mengagumkan.
Jayalah KA Indonesia...semboyan 40/41
Nugroho Wahyu Utomo

Jumat, 17 Oktober 2008

Selamatkan Lok Uap Ambarawa (2-habis)

MINIM TENAGA
Berdasarkan data yang dikumpulkan penulis di Museum KA Ambarawa dan Depo Lok Ambarawa, bahwa jumlah tenaga yang mampu menjalankan lokomotif uap semakin berkurang. Sementara informasi yang diperoleh bahwa nantinya bila lok uap tersebut jadi dibawa ke Sumbar dan Solo, akan melibatkan tenaga dari Museum KA Ambarawa, baik itu tenaga masinis maupun teknisi. Lantas siapakah yang akan mengoperasikan dan merawat lok uap di Ambarawa yang tersisa dan masih aktif? Siapakah yang akan melayani para pengguna KA Wisata yang telah mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk paket perjalanan itu? Berkurangnya jumlah tenaga operasional KA Wisata khususnya lok uap justru akan membawa bencana bagi Museum KA Ambarawa. Akibatnya KA Wisata lintas Ambarawa-Bedono tidak beroperasi. Pengunjung kecewa dan pemasukan Museum KA Ambarawa hanya mengandalkan lori wisata Ambarawa – Tuntang serta tariff masuk museum, akan merosot drastis.
Sementara itu Daop IV PT Kereta Api (Persero) sendiri telah melakukan kesalahan besar dengan lambatnya regenerasi masinis dan teknisi di lingkungan Depo Lok Ambarawa. Menurut Pujiono, para masinis lok uap yang telah menjalani masa pensiun, masih sanggup diminta bantuannya menjalankan lok uap. Namun apakah selamanya akan menggantungkan dari mereka. Bukan bermaksud mengecilkan kemampuan lantaran telah pensiun, namun mereka yang senior hendaknya segera membagikan ilmu nya kepada yunior dan selanjutnya terjadi estafet dalam hal perawatan dan operasional lok uap. Apalagi dengan rencana penarikan dua lok uap keluar dari wilayah Museum-Depo lok uap KA Ambarawa yang melibatkan tenaga dari tempat tersebut. Bila perlu Daop IV PT Kereta Api (Persero) langsung menempatkan 5 – 10 tenaga masinis dan teknisi dari Depo Lok Semarang Poncol untuk dididik merawat dan mengoperasionalkan lok uap di Ambarawa. Karena selama ini para masinis lok uap yang bertugas di Ambarawa adalah mantan masinis Depo Lok Semarang Poncol.
Langkah lainnya yang perlu diterapkan Daop IV PT Kereta Api (Persero) sebagai operator KA di wilayah Jateng bagian utara dan sebagian selatan, mengajak Pemerintah Provinsi Jateng sebagai regulator bekerjasama meningkatkan dan memperbaiki jalur Ambarawa – Tuntang agar dapat dilalui KA Wisata dan KA barang yang ditarik lok uap C1218 dan E1060. Bila peningkatan dan perbaikan jalur itu selesai secepatnya, dan operasional KA mulai berjalan, maka kedua lok uap tadi tidak akan dibawa ke Sumbar dan Solo. Karena alasan telah digunakan untuk operasional di jalur itu.
Kemudian untuk lintas Solo – Wonogiri dan Sumbar, sebaiknya tidak perlu mempertahankan keinginannya menggunakan lok uap untuk menarik rangkaian KA Wisata. Misalnya untuk lintas Solo – Wonogiri sebaiknya menggunakan lok D301/D300 dengan cat warna krem – hijau yang jauh tampil tak kalah klasik dengan lok uap, karena roda penggerak mirip dengan roda penggerak lok uap. Kemudian di Sumbar sebaiknya menggunakan lok diesel BB204 yang sama-sama menggunakan gerigi dan hingga saat ini banyak yang dibiarkan tidur di dalam depo walau sebenarnya tidak dalam kondisi rusak. Bukankah mengangkut lok uap dengan menggunakan kapal laut justru akan mengeluarkan biaya besar? Intinya KA Wisata, tidak harus ditarik dengan lok uap. Kalau nantinya di Indonesia seluruh unit lok uap sudah tidak mampu dioperasionalkan karena faktor langkanya suku cadang atau bahan baku kayu , apa boleh buat. Lebih baik di museumkan atau di monumenkan sebagai bagian saksi sejarah per KA an di Indonesia. Oleh sebab itu, biarlah Ambarawa menjadi basis lok uap satu-satunya di Indonesia milik PT Kereta Api (Persero). Biarlah lok-lok uap tetap menjadi penghuni depo/ museum. (Tamat)
Jayalah KA Indonesia...semboyan 40/41
Nugroho Wahyu Utomo


Selamatkan Lok Uap Ambarawa (1)

PADA bulan Ramadhan yang lalu, penulis dikejutkan oleh berita rencana penarikan kembali lokomotif uap E1060 ke habitatnya di Sumatera Barat. Info tersebut diperoleh penulis dari Kepala Depo Traksi (KDT) Ambarawa Pujiono ketika secara tidak sengaja bertemu di dekat pusat perbelanjaan di kawasan Simpang Lima Semarang. Sebelumnya memang penulis telah mendapatkan informasi terkait penarikan lokomotif yang dijuluki mak itam itu dari salah seorang kru Museum KA Ambarawa. Namun informasi itu tidak digubris lantaran dianggap informasi masa lalu ketika Bapak Sudono (eks Kepala Museum KA Ambarawa) masih bertugas di tempat tersebut. Saat itu Kepala Daop IV PT Kereta Api (Persero) masih dijabat oleh Bapak Rono Pradipto, juga kurang menyetujui rencana penarikan lokomotif bergandar penggerak lima itu.
Tetapi berita yang disampaikan Pak Pujiono bukan berita isapan jempol belaka. Karena Pak Pujiono yang menangani dan bertanggung jawab terhadap perawatan koleksi lokomotif uap di depo seperti Lok B2502, B2503, C1218, dan tentu saja E1060. Otomatis segala sesuatu yang berkaitan dengan lokomotif uap di depo akan berhubungan langsung dengan KDT nya. Sebelum berita E1060 akan diminta kembali Divre II PT Kereta Api (Persero) Sumbar, muncul berita yang menyebutkan lokomotif uap B2501 di Palagan Ambarawa akan ditarik ke Solo untuk kepentingan KA Wisata lintas Solo – Wonogiri. Namun informasi tadi belakangan berubah dengan rencana ditariknya lokomotif C1218 ke Solo untuk kepentingan yang sama. Padahal lokomotif C1218 yang baru saja dipreservasi sejak tahun 2006 lalu lebih pas bila dioperasionalkan untuk lintas Ambarawa – Tuntang kelak bila track tersebut telah diperbaiki. Begitu pula lokomotif E1060 walaupun bergerigi, namun lebih tepat dioperasionalkan untuk lintas yang menyusuri obyek wisata Rawa Pening dan kawasan Banyubiru itu. Sebab menurut Pujiono, meskipun gerigi lok E1060 telah disetarakan dengan letak gerigi rel lintas Ambarawa-Jambu-Bedono, namun medannya dianggap kurang memungkinkan bagi lok itu sendiri. Akibatnya hanya lok B2502 dan B2503 yang mampu menghela rangkaian KA Wisata lintas Ambarawa – Bedono.
Melihat kondisi lok E1060 dan C1218 yang nganggur di depo, penulis pernah mengusulkan (bahkan menulis melalui rubrik Wacana Lokal – Harian Suara Merdeka edisi 2 Agustus 2008, hal L -Peningkatan Jalur KA Ambarawa – Tuntang) agar lokomotif C1218 dan E1060 diaktifkan untuk menarik KA Wisata Ambarawa – Tuntang dan KA barang seandainya jalur itu telah diperbaiki. Karena selama ini jalur tersebut kondisinya belum memungkinkan untuk dilalui KA dan baru sebatas lori wisata. Karena apa gunanya kedua lok tersebut didatangkan jauh-jauh (E1060 dari Padang dan C1218 dari Cepu) serta diperbaiki dengan susah payah oleh kru depo dengan biaya tidak sedikit, akhirnya mangkrak tak berfungsi. Kemungkinan melihat tidur nya kedua lok itu, ada pihak yang ingin memanfaatkan untuk kepentingan KA Wisata. Secara kebetulan lok E1060 adalah awal mulanya milik Divre II Sumbar, jadi akhirnya mereka menagih bekas aset nya yang pernah dikirim tahun 1997 ke Ambarawa. Padahal ketika lok tersebut didatangkan ke Ambarawa, menurut Bapak Sudono dalam kondisi rusak. Kini setelah lok tersebut sehat, akan diminta lagi. Memangnya Depo Lok Ambarawa ini tempat service bagi lok uap bermasalah? (bersambung)
Jayalah KA Indonesia...semboyan 40/41
Nugroho Wahyu Utomo